Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

17 November 2012

Sejarah ASRI

ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia
Dalam perjalanan sejarah panjangnya, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta adalah sebuah institusi pendidikan tinggi bidang seni rupa di Indonesia yang hampir sama tuanya dengan usia Republik Indonesia. Sebelum menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta sebagaimana yang dikenal sekarang, lembaga ini pada awalnya bernama ASRI atau Akademi Seni Rupa Indonesia.
ASRI berdiri atas dasar surat Keputusan Menteri PP dan K no. 32/Kebud., tanggal 15 Desember 1949. Peresmiannya dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950 oleh Menteri PP dan K saat itu, yaitu S. Mangunsarkoro di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, dengan mengangkat direktur pertamanya RJ. Katamsi. Bidang pendidikan seni yang diselenggarakan ASRI pada saat itu yaitu Seni Lukis, Seni Patung, Seni Pertukangan, dan ”Redig” singkatan dari Reklame, Dekorasi, Ilustrasi Grafik, disusul dengan Jurusan Guru Menggambar. Di awal berdirinya ASRI serba dalam kondisi darurat, belum memiliki satu kampus yang terpadu.
Pendidikan dilaksanakan di banyak tempat. Gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Yogyakarta sebagai kantor pusat, tempat kuliah, dan studio Bagian I/II. SMA/B Kota Baru dan rumah RJ. Katamsi di Gondolayu untuk studio Bagian IV dan V. Bekas gedung Kunst Ambachschool di Ngabean dan Bintaran untuk studio Bagian III. Baru pada tahun 1957, ASRI mendapat gedung pre-fabricated bantuan dari Amerika Serikat yang bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia, yaitu yang dikenal dengan kampus Gampingan yang legendaris itu. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang sangat terbatas, juga pengalaman penyelenggaraan akademi yang belum ada, dan sumber daya manusia yang sangat kurang, kenyataannya ASRI bisa berjalan. Tetapi lebih dari itu, sebenarnya dosen-dosen yang meng ajar mempunyai kualitas yang tinggi. RJ. Katamsi sendiri yang lulusan Academie voor Beeldende Kunsten, Den Haag, mengajar sejarah kesenian, ilmu reproduksi, perspektif, dan opmeten. Djajengasmoro mengajar melukis dan stilleven. Kusnadi yang juga pelukis, meng ajar komposisi. Mardio mengajar metodik dan menggambar di papan tulis. Ardan mengajar pengetahuan bahan dan Warindyo pada menggambar ukir-ukiran. Dokter Radiopoetro mengajar anatomi plastis, Widjokongko pada fotografi, tipografi, dan ilmu ukur melukis, sedangkan Padmopoespito mengajar sejarah kebudayaan. Dari siswa angkatan pertama yang berjumlah 160 orang, muncul potensi-potensi kuat dalam masing-masing bidang seni rupa, sehingga setelah lima atau enam tahun kemudian direkrut menjadi pengajar. Mereka adalah Widayat, Hendrodjasmoro, Saptoto, HM. Bakir, Abas Alibasyah, Abdul Kadir, Edhi Sunarso, dan Soetopo. Dalam dunia seni rupa Indonesia mereka juga akhirnya dikenal sebagai seniman-seniman yang handal.

Keadaan darurat pada pendirian akademi seni rupa ini memang berakibat pada belum siapnya diterapkan sistem pendidikan yang ketat dengan menerapkan norma-norma akademik dan metode yang berbasis ilmu pengetahuan (wetenschapelijk). Persoalan tersebut juga berakibat pada kurang matangnya pembuatan kurikulum, pemberian nama mata kuliah, maupun peraturanper aturan akademik yang belum tertata dengan baik.
Dengan kearifan dan kesadaran kontekstual pada kondisi yang ada, maka sebagai gantinya ASRI menerapkan
peng ajaran dalam “sistem proyek global”, yaitu suatu sistem yang memberikan keberanian dan kebebasan penuh kepada para siswa. Dengan sistem itu, dalam proses studi baru enam bulan ASRI sudah berani tampil dalam pameran Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-5 di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pada kesempatan itulah RJ. Katamsi mengungkapkan bahwa dorongan semangat ini merupakan buah dari “sistem proyek global”, yang dalam pengajaran praktik tidak mementingkan detail dari objek (alam atau benda) yang sedang dihadapi, melainkan hanya mengutamakan kesan
keseluruhan yang telah dibumbui dengan konsep pribadi. Dengan “sistem proyek global” ini ASRI harus banyak membawa siswanya untuk praktik on the spot ke alam, dan hal itu telah dilakukan dengan melukis keluar seperti ke Parang tritis, Kaliurang, Borobudur, dan lain-lainnya.
Namun demikian, ada juga tradisi lain yang terus berkembang dari sistem pendidikan ASRI, yaitu siswa tidak diarahkan pada suatu gaya dan corak tertentu dalam berkarya. Di samping itu, dalam mengajarkan realisme dan naturalisme siswa diberi dasar yang lengkap, logis, dan nyata.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanpa disa dari terjadi suatu pergeseran visi pendidikan ASRI yang seharusnya mendidik calon-calon seniman menjadi mendidik calon-calon guru. Hal tersebut karena dipengaruhi kenyataan dalam masyarakat dan kehidupan, bahwa berprofesi sebagai seniman ternyata masih sulit untuk mendapat jaminan hidup. Oleh karenanya berkembanglah tuntutan agar pendidikan ASRI juga bisa mendapat kesetaraan dengan ijazah SGA dan B-1, sehingga dapat untuk mengajar. Penyimpangan visi pendidikan ini kemudian diperbaiki dengan SK Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 27/1963, 5 April 1963. Dalam SK tersebut ASRI kemudian diberi status akademi penuh, dan memisahkan Bagian Satu (yang dimasuki lulusan SMP untuk bidang seni lukis, patung, dan kriya) menjadi Sekolah Menengah Seni Rupa, serta Bagian Lima (bidang guru gambar) menjadi Jurusan Seni
Rupa di IKIP.

 ASRI menjadi STSRI “ASRI”
Perubahan status berikutnya terjadi pada tanggal 4 November 1968, yaitu menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI), lewat SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0100/1968. Dengan nama baru STSRI itu, sebutan ASRI tidak dihilangkan karena dimanfaatkan sebagai brand name yang telah familiair dengan masyarakat. Lagi pula dalam bahasa Jawa, asri mempu nyai makna indah dan menyenangkan, sehingga sebutan itu mempunyai pencitraan yang baik untuk perguruan tinggi seni rupa. Dalam status tersebut, STSRI “ASRI” sebagai pendidikan tinggi seni rupa yang telah membuka tingkat doktoral atau sarjana penuh kemudian membenahi berbagai perangkat lunak akademik dalam sistem pendidikannya. Pada tahun 1969, dipelopori oleh Soedarso Sp, MA yang pada waktu itu menjabat sebagai Pjs. Ketua, mengganti sistem kenaikan tingkat atau studi tahunan dengan sistem semester dan studi terpimpin dalam Satuan Kredit Semester (SKS). Untuk perguruan tinggi di Yogyakarta, STSRI “ASRI” ternyata menjadi pelopor dalam pemakaian sistem ini. Tentu saja sistem ini dimaksudkan mendorong tradisi dan etos belajar mahasiswa untuk menjadi lebih disiplin, karena untuk mencapai derajat sarjana diperlukan target capaian yang berbobot ilmiah pula. Demikian juga, bagian-bagian bidang studi pada sistem akademi sebelumnya dikembangkan semakin mantap menjadi enam Jurusan, yaitu Seni Lukis, Seni Patung, Seni Ilustrasi/Grafis, Seni Kriya, Seni Reklame/Propaganda, dan Seni Dekorasi.

Dari STSRI “ASRI” ke Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Proses perjalanan lembaga pendidikan tinggi seni rupa ini yang paling akhir adalah bergabungnya STSRI “ASRI” dengan AMI dan ASTI membentuk Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang secara resmi dibentuk melalui SK Presiden RI, No. 39/1984, tanggal 30 Mei 1984 dan peresmian berdirinya oleh Mendikbud pada tanggal 23 Juli 1984. Dalam bagian ini, menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, sebenarnya tetap merupakan perjalanan panjang dari proses penyempurnaan sistem pendidikan tinggi seni rupa, yang secara dialogis mempertahankan antara nilai tradisi dan modernitas.
Menyertai perkembangan Indonesia dan zaman yang semakin modern, FSR ISI Yogyakarta mengembangkan
sistem pendidikannya sesuai dengan konsep-konsep pendidik an modern dalam kerangka visi ISI Yogyakarta dan norma-norma dari Departemen Pendidikan Nasional. Pada proses perubahan menjadi Fakultas Seni Rupa ini kampusnya masih menempati tempat lama di Gampingan, namun setelah tahun 1995 kampus FSR pindah ke jalan Parangtritis, Sewon, Bantul bergabung dengan kampus terpadu ISI Yogyakarta.
 Dikutip dari isi.ac.id

0 komentar :

Posting Komentar